Dari Bagian 1
Dalam mulutku penis itu kukulum dan kuhisap,
kugerakkan lidahku memutar mengitari kepala penisnya. Sesekali aku
melirik ke atas melihat ekspresi wajah dia menikmati seponganku.
Berdasarkan pengalaman, sudah banyak cowok kelabakan dengan articulate
sex-ku, mereka biasa mengerang-ngerang tak karuan bila lidahku sudah
beraksi pada penis mereka, Pak Qadar pun termasuk diantaranya. Dia
mengelus-elus rambutku dan mengelap dahinya yang sudah bercucuran
keringat dengan sapu tangan.
Namun ada sedikit gangguan di tengah
kenikmatan. Terdengar suara pintu diketuk sehingga kami agak panik. Pak
Qadar buru-buru menaikkan kembali celananya dan meneguk air dari
gelasnya. Aku disuruhnya sembunyi di bawah meja kerjanya.
“Ya.. Ya.. Sebentar tanggung ini hampir selesai,” sahutnya membalas suara ketukan.
Dari
bawah meja aku mendengar dia sudah membuka pintu dan berbicara dengan
seseorang yang aku tidak tahu. Kira-kira tiga menitan mereka berbicara,
Pak Qadar mengucapkan terima kasih pada orang itu dan berpesan agar
jangan diganggu dengan alasan sedang lembur dan banyak pekerjaan, lalu
pintu ditutup.
“Siapa tadi itu Pak, sudah aman belum?” tanyaku setelah keluar dari kolong meja.
“Tenang cuma karyawan mengantar surat ini kok, yuk terusin lagi Dik.”
Lalu
dengan cueknya aku melepaskan baju dan rokku yang sudah terbuka hingga
telanjang bulat di hadapannya. Aku berjalan ke arahnya yang sedang
melongo menatapi ketelanjanganku, kulingkarkan lenganku di lehernya dan
memeluknya. Dari tubuhnya tercium balm khas parfum om-om. Dia yang
memangnya pendek terlihat lebih pendek lagi karena saat itu aku
mengenakan sepatu yang solnya tinggi.
Kudorong kepalanya di
antara kedua gunungku, dia pasti keenakan kuperlakukan seperti itu.
Tiba-tiba aku meringis dan mendesis karena aku merasakan gigitan pada
puting kananku, dia dengan gemasnya menggigit dan mencupangi putingku
itu, giginya digetarkan pada bulatan mungil itu dan meninggalkan jejak
di sekitarnya. Tangannya mengelusi punggungku menurun hingga mencengkram
pantatku yang bulat dan padat.
“Hhmm.. Sempurna sekali tubuhmu ini Dik, pasti rajin dirawat ya,” pujinya sambil meremas pantatku.
Aku
hanya tersenyum kecil menanggapi pujiannya lalu kubenamkan kembali
wajahnya ke payudaraku yang sebelah, diapun melanjutkan menyusu dari
situ. Kali ini dia menjilati seluruh permukaannya hingga basah oleh
liurnya lalu diemut dan dihisap kuat-kuat. Tangannya dibawah sana juga
tidak bisa diam, yang kiri meremas-remas pantat dan pahaku, yang kanan
menggerayangi vaginaku dan menusuk-nusukkan jarinya di sana. Sebagai
respons aku hanya bisa mendesah dan memeluknya erat-erat, darah dalam
tubuhku semakin bergolak sehingga walaupun ruangan ini ber-AC,
keringatku tetap menetes-netes.
Mulutnya kini merambat naik
menjilati leher jenjangku, dia juga mengulum leherku dan mencupanginya
seperti Dracula memangsa korbannya. Cupangannya cukup keras sampai
meninggalkan bercak merah selama beberapa hari. Akhirnya mulutnya
bertemu dengan mulutku dimana lidah kami saling beradu dengan liar.
Lucunya karena dia lebih pendek, aku harus sedikit menunduk untuk
bercumbuan dengannya. Sambil berciuman tanganku meraba-raba
selangkangannya yang sudah mengeras itu. Setelah tiga menitan karena
merasa pegal lidah dan susah bernafas kami melepaskan diri dari ciuman.
“Masukin aja sekarang yah Pak.. Saya udah nggak tahan nih,” pintaku sambil terus menurunkan resleting celananya.
Namun
belum sempat aku mengeluarkan penisnya, dia sudah terlebih dulu
mengangkat tubuhku. Wow, pendek-pendek gini kuat juga ternyata, dia
masih sanggup menggendongku dengan kedua tangan lalu diturunkan di atas
meja kerjanya. Dia berdiri diantara kedua belah pahaku dan membuka
celananya, tangannya memegang penis itu dan mengarahkannya ke vaginaku.
Tangan kananku meraih benda itu dan membantu menancapkannya.
Perlahan-lahan batang itu melesak masuk membelah bibir vaginaku hingga
tertanam seluruhnya.
“Ooohh..!” desahku dengan tubuh menegang dan mencengkram bahu Pak Qadar.
“Sakit Dik?” tanyanya.
Aku
hanya menggeleng walaupun rasanya memang agak nyeri, tapi itu cuma
sebentar karena selanjutnya yang terasa hanyalah nikmat, ya nikmat yang
semakin memuncak. Aku tidak bisa tidak mendesah setiap kali dia
menggenjotku, tapi aku juga harus menjaga aggregate suaraku agar tidak
terdengar sampai luar, untuk itu kadang aku harus menggigit bibir atau
jari. Dia semakin cepat memaju-mundurkan penisnya, hal ini menimbulkan
sensasi nikmat yang terus menjalari tubuhku.
Tubuhku
terlonjak-lonjak dan tertekuk sehingga payudaraku semakin membusung ke
arahnya. Kesempatan ini tidak disia-siakan dia yang langsung melumat
yang kiri dengan mulutnya dan meremas-remas yang kanan serta
memilin-milin putingnya. Tak absolutist kemudian aku merasa dunia makin
berputar dan tubuhku menggelinjang dengan dahsyat, aku mendesah panjang
dan melingkarkan kakiku lebih erat pada pinggangnya. Cairan bening
mengucur deras dari vaginaku sehingga menimbulkan bunyi kecipak setiap
kali dia menghujamkan penisnya. Beberapa detik kemudian tubuhku melemas
kembali dan tergeletak di mejanya di antara tumpukan arsip-arsip dan
alat tulis.
Aku hanya bisa mengambil nafas sebentar karena dia
yang masih bertenaga melanjutkan ronde berikutnya. Tubuhku dibalikkan
telungkup diatas meja dan kakiku ditarik hingga terjuntai menyentuh
lantai, otomatis kini pantatku pun menungging ke arahnya. Sambil meremas
pantatku dia mendorongkan penisnya itu ke vaginaku.
“Uuhh.. Ngghh..!” desisku saat penis yang keras itu membelah bibir kemaluanku.
Dalam
posisi seperti ini sodokannya terasa semakin keras dan dalam, badanku
pun ikut tergoncang hebat, payudaraku serasa tertekan dan bergesekan di
meja kerjanya. Pak Qadar menggenjotku semakin cepat, dengusan nafasnya
bercampur dengan desahanku memenuhi ruangan ini. Sebisa mungkin aku
menjaga suaraku agar tidak terlalu keras, tapi tetap saja sesekali aku
menjerit kalau sodokannya keras. Mulutku mengap-mengap dan mataku
menatap dengan pandangan kosong pada foto dia dengan istrinya yang
dipajang di sana.
Beberapa menit kemudian dia menarik tubuh kami
mundur beberapa langkah sehingga payudaraku yang tadinya menempel di
meja kini menggantung bebas. Dengan begitu tangannya bisa menggerayangi
payudaraku. Pak Qadar kemudian mengajak ganti posisi, digandengnya
tanganku menuju sofa. Dia menjatuhkan pantatnya disana, namun dia
mencegahku ketika aku mau duduk, disuruhnya aku berdiri di hadapannya,
sehingga kemaluanku tepat di depan wajahnya.
“Bentar yah Dik, Bapak bersihin dulu punyamu ini,” katanya seraya menempelkan mulutnya pada kerimbunan bulu-bulu kemaluanku.
“Sluurp..
Sshhrrp” dijilatinya kemaluanku yang basah itu, cairan orgasmeku
diseruputnya dengan bernafsu. Aku mendesis dan meremas rambutnya sebagai
respons atas tindakannya. Vaginaku dihisapinya selama sepuluh menitan.
Setelah puas aku disuruhnya naik kepangkuannya dengan posisi berhadapan.
Kugenggam penisnya dan kuarahkan ke lubangku, setelah rasanya pas
kutekan badanku ke bawah sehingga penis dia tertancap pada vaginaku.
Sedikit demi sedikit aku merasakan ruang vaginaku terisi dan dengan
beberapa hentakan masuklah batang itu seluruhnya ke dalamku.
20
menit lamanya kami berpacu dalam gaya demikian berlomba-lomba mencapai
puncak. Mulutnya tak henti-henti mencupangi payudaraku yang mencuat di
depan wajahnya, sesekali mulutnya juga mampir di pundak dan leherku.
Akupun akhirnya tidak tahan lagi dengan memuncaknya rasa nikmat di
selangkanganku, gerak naik turunku semakin cepat sampai vaginaku kembali
mengeluarkan cukup banyak cairan orgasme yang membasahi penisnya dan
daerah selangkangan kami.
Semakin absolutist goyanganku semakin
lemah, sehingga tinggal dia saja yang masih menghentak-hentakkan tubuhku
yang sudah lemas di pangkuannya. Belakangan dia melepaskanku juga dan
menyuruh menyelesaikannya dengan mulut saja. Aku masih lemas dan duduk
bersimpuh di lantai di antara kedua kakinya, kugerakkan tangan kananku
meraih penisnya yang belum ejakulasi. Benda itu, juga bulu-bulunya basah
sekali oleh cairanku yang masih hangat. Aku membuka mulut dan
mengulumnya.
Seiring dengan tenagaku yang terkumpul kembali
kocokanku pun lebih cepat. Hingga akhirnya batang itu semakin berdenyut
diiringi suara erangan parau dari mulutnya. Sperma itu menyemprot
langit-langit mulutku, disusul semprotan berikutnya yang semakin mengisi
mulutku, rasanya hangat dan kental dengan aromanya yang accustomed
denganku. Inilah saatnya menjajal teknik menyepongku, aku berkonsentrasi
menelan dan mengisapnya berusaha agar cairan itu tidak terbuang
setetespun.
Setelah perjuangan yang cukup berat akhirnya
sempotannya makin mengecil dan akhirnya berhenti sama sekali. Belum
cukup puas, akupun menjilatinya sampai bersih mengkilat, perlahan-lahan
benda itu melunak kembali. Pak Qadar bersandar pada daybed dengan nafas
terengah-engah dan mengibas-ngibaskan leher kemejanya. Setelah merasa
segar kami kembali memakai pakaian masing-masing. Dia memuji permainanku
dan berjanji berusaha membantuku mencari pemecahan masalah ini.
Disuruhnya aku besok datang lagi pada jam yang sama untuk mendengar
keputusannya.
Ternyata ketika besoknya aku datang lagi
keputusannya masih belum kuterima, malahan aku kembali digarapnya.
Rupanya dia masih belum puas dengan pelayananku. Dan besok lusanya yang
kebetulan tanggal merah aku diajaknya ke sebuah auberge melati di daerah
Tangerang. Disana aku digarapnya setengah hari dari pagi sampai sore,
bahkan sempat aku dibuat pingsan sekali. Luar biasa memang daya tahannya
untuk seusianya walaupun dibantu oleh suplemen pria. Namun perjuanganku
tidaklah sia-sia, ketika sedang berendam bersama di bathtub dia
memberitahukan bahwa aku sudah diperbolehkan ikut dalam ujian.
“Kesananya
berusaha sendiri yah Dik, jangan minta yang lebih lagi, Bapak sudah
perjuangkan hal ini dalam rapat kemarin,” katanya sambil memencet
putingku.
“Tenang aja Pak, saya juga tahu diri kok, yang penting
saya nggak mau perjuangan saya selama ini sia-sia,” jawabku dengan
tersenyum kecil.
Akhirnya akupun lulus dalam mata kuliah itu
walaupun dengan nilai B karena UAS-nya lumayan sulit, lumayanlah
daripada tidak lulus. Dan dari sini pula aku belajar bahwa terkadang
perjuangan itu perlu pengorbanan apa saja.
E N D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar